Tuesday, April 30, 2013

The Simplest Way to Learn English: Learning by Loving



 “Learning English is all about how you love it. Just like loving your girlfriend or boyfriend, once you love English with all of your heart, you will always want to do something with it”

English is Fun
Everything is fun when you love it


Kemampuan berbahasa Inggris adalah sebuah kebutuhan di era globalisasi saat ini. Sedikit banyak setiap orang harus bisa berbahasa Inggris jika tidak ingin ketinggalan dari perkembangan informasi dan komunikasi yang semakin dinamis. Selain itu, kemampuan ini juga penting untuk meningkatkan daya saing kita sebagai sumber daya manusia (SDM) di pasar internasional. Berbagai macam peluang menarik seperti higher education scholarships, job vacancies, and business opportunities, kelas dunia umumnya ditawarkan kepada orang-orang yang mampu berkomunikasi, baik secara tertulis maupun lisan dengan menggunakan Bahasa Inggris. Lebih dari itu, dunia bahkan menuntut kita, generasi global untuk mempunyai kemampuan berbahasa Inggris yang tersertifikasi secara obyektif melalui uji standart kemampuan berbahasa Inggris, antara lain tes TOEFL, TOEIC, IELTS, dan sebagainya.

Menjawab tuntutan tersebut, kita tentu menyadari pentingnya belajar Bahasa Inggris sebagai second language. Meskipun secara formal di sekolah, bahkan sejak tingkat dasar (SD), kita sudah dibiasakan akrab dengan mata pelajaran Bahasa Inggris, tetap saja masih banyak di antara kita yang menganggap bahasa asing yang diakui secara internasional ini sebagai momok tersendiri. Saya sering sekali mendengar orang bilang “Bahasa Inggris itu susah banget”, “Bahasa Inggris itu grammar-nya ribet”, “Bahasa Inggris itu sulit pronunciation-nya”, “Ngomong Bahasa Inggris lebih sulit daripada menulis Bahasa Inggris”, “Takut terbata-bata kalau ngomong Bahasa Inggris”, dan yang paling fatal “Aku nggak bisa Bahasa Inggris”.

Cuplikan kalimat-kalimat di atas dengan jelas mengesankan seolah-olah Bahasa Inggris itu bahasa yang bandel alias susah sekali dipelajari, Hal ini membuat orang cenderung takut duluan terhadap Bahasa Inggris dan pada akhirnya menyerah atau at least menjadi malas-malasan dalam belajar Bahasa Inggris. Hal ini bukanlah semata-mata asumsi saya, melainkan sebuah pola perilaku yang telah saya buktikan sendiri adanya pada adik perempuan saya, murid yang dulu pernah les privat Bahasa Inggris pada saya, dan juga teman-teman di sekitar saya.

Padahal, kalau boleh saya berpendapat, Bahasa Inggris adalah bahasa yang sangat fleksibel, fun, dan yang paling penting it is very easy-learning. Mungkin teman-teman akan langsung menyeletuk setelah membaca kalimat saya sebelumnya dengan komentar-komentar seperti “Ya iyalah Sar, kamu kan jago Bahasa Inggris” atau “Ya buat lo Sar, secara lo pernah tinggal di luar negeri”. Ya..ya..ya..saya akui bahwa setelah ke luar negeri, memang kemampuan Bahasa Inggris saya menjadi lebih baik. Namun, hal ini hanyalah bonus yang datang dari kemurahan Tuhan. Saya berani bertaruh bahwa jauh sebelum saya diberikan kesempatan untuk tinggal dan belajar di luar negeri, Bahasa Inggris sudah menjadi bagian penting dalam hidup saya. Mungkin terdengar sedikit lebay, tapi begitulah adanya.

Kuncinya ada di mindset kita, yaitu tentang bagaimana kita memandang Bahasa Inggris dan bagaimana kita men-treat bahasa tersebut. Cara termudah dan paling sederhana yang bisa teman-teman lakukan adalah mencintai Bahasa Inggris dengan sepenuh hati-learning by loving. Ketika kita mencintai sesuatu kita akan senantiasa memandangnya baik, indah, dan menyenangkan. Cara pandang ini kemudian mendorong kita untuk melakukan banyak hal dengan apa yang kita cintai itu. 

Pola yang sama akan terjadi ketika kita mencintai Bahasa Inggris. Kita akan senantiasa memandangnya beautiful, fun, dan exciting to learn. Cara pandang inilah yang akan mendorong kita untuk aktif melakukan sesuatu dengannya misalnya membaca bacaan Bahasa Inggris (buku, novel, komik, koran, majalah, dsb), menulis atau mengarang dalam Bahasa Inggris, nonton film berbahasa Inggris, mendengarkan lagu-lagu berbahasa Inggris, dan berbicara sehari-hari dalam Bahasa Inggris.

Dengan atau tanpa kita sadari dengan cara-cara itulah sebenarnya kita belajar Bahasa Inggris secara efektif dan efisien. Dengan cara-cara itu pula, saya belajar menulis dan berbicara Bahasa Inggris. Bila sebagian besar orang memilih untuk belajar Bahasa Inggris di tempat kursus, berangkat dari level amatir hingga ekspert, saya justru lebih memilih belajar sendiri secara autodidak. Bukan merasa sok pinter atau sok tidak membutuhkan pengajar, tapi lebih pada menemukan kenyamanan saya dalam belajar. Sebab, yang namanya belajar itu banyak caranya dan begitulah cara saya. 

Mungkin teman-teman bertanya, bagaimana saya akhirnya tahu bahwa cara itulah yang paling efektif untuk saya? Jawabannya karena saya pernah mencoba. Keluar masuk kursus Bahasa Inggris, mulai dari tempat kursus ala-ala hingga tempat kursus yang sudah bonafit dan punya nama. Satu bulan masuk, tidak betah, mulai rajin bolos, lantas keluar. Pindah ke tempat kursus yang baru pun sama. Pada akhirnya hanya menjadi serangkaian aktivitas membuang uang belaka. 

Ketidakbetahan saya sebenarnya beralasan (menurut saya :p). Materi di tempat kursus mengulang materi yang saya peroleh di sekolah, walaupun memang harus diakui lebih advanced. Hal tersebut membuat saya bosan. Kebanyakan mengerjakan latihan soal Bahasa Inggris seringkali membuat kepala saya pusing. Haha..LOL. Hal ini juga menjadi sebab mengapa sampai saat ini, walaupun saya sudah dua kali ke luar negeri, saya belum mempunyai sertifikat TOEFL sama sekali. Apabila waktu itu saya menuntaskan kursus saya dengan baik, pasti at least saya pernah megikuti satu kali tes TOEFL dan punya sertifikat skor TOEFL. Satu-satunya tes standart kemampuan Bahasa Inggris yang pernah saya ikuti hanyalah TOEIC pada 2008. Itupun sebagai syarat mengikuti program pertukaran pelajar ke Amerika.  

Berbeda sekali rasanya, ketika saya harus memencet kamus elektronik saya (alfalink) untuk mencari kosakata (vocab) yang saya belum tahu artinya 1) pada saat saya menterjemahkan kalimat dalam soal Bahasa Inggris dengan 2) pada saat saya menterjemahkan kalimat dialog dalam film. Hal yang sama saya rasakan ketika saya harus membuka kamus Indonesia-Inggris saya saat saya harus menterjemahkan kata dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris untuk 1) menjawab soal Bahasa Inggris dengan 2) untuk membuat kalimat dalam karangan/tulisan saya. Teman-teman dapat membayangkannya bukan? I love English in the way I love it.

Kebiasaan saya menonton film Hollywood yang disajikan dalam Bahasa Inggris telah mampu mengasah kemampuan listening dan pronunciation saya. Indra saya menjadi sangat terbiasa mendengar aksen Barat dan melafalkan kalimat percakapan sehari-hari dengan aksen Barat (khususnya American-English). Kekayaan kosakata Bahasa Inggris saya pun menjadi semakin banyak, termasuk slang words. Saya juga secara refleks menjadi sering menggunakan kata-kata Bahasa Inggris dalam bahasa percakapan saya sehari-hari, walaupun jatuhnya menjadi trilingual karena terjadi kombinasi Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Bahasa Jawa. Hal inilah yang pada gilirannya mampu meningkatkan kemampuan speaking saya. 

Sementara kemampuan grammar dan writing saya diasah melalui hobi mengarang/menulis dalam Bahasa Inggris. Apapun saya tulis, dari hal penting hingga diary pribadi. Selain itu, saya juga sering sekali mengikuti lomba-lomba Bahasa Inggris, baik speech maupun writing, mulai dari tingkat kecamatan hingga tingkat provinsi. Mengikuti lomba-lomba Bahasa Inggris bagi saya merupakan bentuk pembelajaran yang konkrit. Itulah alasan mengapa saya hobi sekali mengikuti lomba Bahasa Inggris.

Untuk dapat memenangkan lomba, tentu perlu practice and practice bukan? Nah, practice itulah yang mengasah kemampuan menjadi semakin baik, sehingga saya pada akhirnya mampu memenangkan setiap lomba Bahasa Inggris yang saya ikuti, meskipun tidak melulu menjadi yang terbaik. Yang paling penting bukanlah being the best, but giving the best. Caranya adalah konsisten dan total dalam melakukan practice. Sebuah hasil yang besar datang dari kerja keras yang panjang dan melelahkan, namun hasil yang besar lebih berharga dibanding waktu dan energi yang terbuang. So, keep on practice more and more till you are sure you will rock the results! And never be afraid to make mistakes, ‘cause you’ll learn from mistakes that you make!

Setidaknya kita bisa sepakat bahwa the simplest way to learn is to love what we learn. Berangkat dari “mencintai” Bahasa Inggris, kita akan menemukan cara masing-masing untuk menunjukkan kecintaan kita pada bahasa ini. Dengan cara unik itulah, kita akan lebih mudah mempelajarinya dan tentu saja dengan hasil yang insyAllah saya yakin akan baik. Jadi buat teman-teman yang masih berpikir bahwa belajar Bahasa Inggris itu sulit, mulailah dari sekarang untuk mencintai bahasa itu terlebih dahulu. Lalu temukanlah cara unikmu untuk mencintainya :)    

  
  

Monday, April 22, 2013

A Cup Coffee of Love - Cinta Tertunda



"Tuhan menciptakan rasa cinta di setiap hati insan manusia. Maka dengarkanlah manakala cinta berbicara karena pada saat itulah hatimu bersuara"

A Cup Coffee of Love
You are my caffein whom I am addicted to love


Cinta...
Bukan mata yang buta melihat
Tapi mata hati yang buta mencerna makna
Makna bahwa aku bukan siapa-siapa
Tidak lebih dari teman melepas canda tawa
Menumpahkan lara saat jiwamu berduka
Makna bahwa aku hanyalah bahu sandaran
Saat kepalamu mulai berat karena beban
Saat kau butuh pelukan hangat
Ketika dingin menerpa, hasrat melanda

Cinta...
Andai aku bisa memilih
Aku ingin menjadi tuli saja
Gaung ceritamu tentangnya
Yang sebenarnya tidak pernah ingin kudengar
Ekspresimu menggebu syahdu
Menyesakkan dada, menggelapkan sukma
Namun aku tetap ingin kamu tatapku tersenyum
Senyum yang mungkin bagimu tak seberapa berharga
Tapi setidaknya itu membuatmu lega
Karena aku mendengarkanmu, memahamimu

Cinta...
Jauh terasa dekat, dekat terasa jauh
Bilangan waktu yang kita lewatkan bersama
Bagaikan kedipan mata sekilas lalu
Sia-sia tanpa makna
Makna yang kucari, cinta...

Cinta...
Mengapa Tuhan mempertemukanmu denganku
Saat aku tak siap menolak kehadiranmu
Pengobat laraku di kala itu
Saat jiwaku rapuh karena masa lalu
Cerita kita begitu singkat
Tanpa awal, tanpa akhir
Mengalir tak terduga
Bila mau, aku ingin menyesalinya
Tapi hatiku berkata
Kau anugerah yang tak layak disayangkan

Cinta...
Kau boleh menilaiku perempuan yang sedikit punya sabar
Tapi sadarkah kamu?
Berapa lama aku bersabar untukmu?
Mendengarkanmu setiap waktu
Walau aku muak dengan dongengmu
Yang selalu tentangnya
Srikandi sakti yang kau puja mulya
Kamu tahu betul sulitnya bersabar bagiku
Kamu bahkan harus mengajariku berulang kali bukan?
Tapi nyatanya kamu tak mampu melihat
Sebanyak senyum yang tampak di bibirku
Sebanyak itu pula aku menahan pedih
Apakah itu bukan sabar namanya?

Monday, April 15, 2013

Belajar Berbagi Bersama Swayanaka



“Tidak Perlu Berbuat Banyak, Berbuatlah Sedikit Namun Berarti Bagi Orang lain”

Senyum tanpa beban, bersemangat, dan selalu ceria di tengah keterbatasan. Itu lah kiranya gambaran anak-anak bimbingan belajar Yayasan Swayanaka RT 04 RW 10 Cijantung, Jakarta Timur yang saya kunjungi setiap Minggu. Sebagian besar anak-anak ini adalah anak dari keluarga kurang mampu yang orang tuanya rata-rata bekerja sebagai pedagang keliling dan buruh cuci. Beruntung karena mereka masih bisa mengenyam pendidikan di bangku sekolah, walaupun kebanyakan berhenti hanya sampai SMA karena keterbatasan biaya untuk kuliah. Setiap Minggu, saya dan teman-teman volunteer Swayanaka yang lain mengajar anak-anak tersebut berbagai pelajaran yang masih belum mereka pahami di sekolah, terkadang juga kami menyisipkan pendidikan karakter dan lingkungan.
            
Anak-anak tersebut bukanlah anak-anak yang cepat menangkap materi pelajaran yang diajarkan, sehingga pengajar harus benar-benar sabar dan telaten dalam mengajar. Hal yang dulunya sulit sekali saya makhlumi, tapi kini saya mengerti bahwa setiap anak mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dan sudah menjadi tugas pengajar untuk memfasilitasi kemampuan itu dengan metode belajar dan cara mengajar yang benar. Satu hal yang saya yakini adalah, setiap anak itu sebenarnya punya potensi untuk menjadi pandai, asalkan diajar dengan baik dan benar sesuai karakternya. Perlu treatment yang berbeda, misalnya untuk anak yang sangat rajin mencatat dengan anak yang cenderung lebih suka mendengarkan gurunya menerangkan di kelas. 

Selain belajar, anak-anak sesekali juga diajak untuk bermain bersama misalnya outbound, piknik, atau pentas seni. Hal ini dilakukan karena anak-anak cenderung jarang mendapatkan hiburan semacam ini lantaran orang tua yang repot mencari nafkah.dan keterbatasan uang untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya rekreatif. Dengan berbagai kegiatan ini, anak-anak sudah merasa sangat senang. Hal ini membuka mata hati saya untuk lebih bersyukur pada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah menganugerahi saya kehidupan yang lebih baik daripada mereka. Bisa jadi sesuatu yang kecil bagi kita, ternyata besar untuk orang lain. Mungkin yang bagi kita tidak seberapa berarti, justru sangat berharga bagi orang lain.

Pembelajaran itulah yang saya peroleh dari anak-anak di bimbel Swayanaka. Bersama Swayanaka pula, saya mengenal orang-orang dengan kepedulian sosial yang tinggi. Orang-orang yang mengajarkan pada saya tentang apa artinya membahagiakan orang lain. Tidak perlu berbuat yang besar, berbuat hal kecilpun bisa sangat bermakna untuk orang lain. Tidak ada yang istimewa dengan mengajar bimbel setiap Minggu yang kurang lebih sudah lima bulan ini saya lakukan. Tetapi hal sederhana ini sangat membantu anak-anak memahami pelajaran mereka di sekolah, khususnya bagi mereka yang kurang mendapat perhatian orang tua. Jika ada kemauan, teman-temanpun bisa melakukan hal yang sama dan jangan ragu untuk memulainya hari ini :) 



Pekan Kreativitas Seni Anak Bimbel Swayanaka "Peringatan Hari Ibu" 2013
Pekan kreativitas seni bimbel swayanaka 23 Desember 2013

Piknik Bibmel Swayanaka di Kebun Binatang Ragunan
Me with the kids at Ragunan Zoo

The zoo did not only give the kids pleasure to see the animal but also where they could learn about animals

Pinik Bimbel Swayanaka di Kebun Binatang Ragunan
The kids did drawing and painting after learning the animals
              

Melbourne Trip: Tips Berteman dengan Orang Asing


“There is always something worth you can have somewhere 
with someone you have never expected ”

Perjalanan ke Melbourne yang hanya berlangsung selama delapan hari memberikan banyak pengalaman yang tidak terlupakan. Perjalanan ini berawal dari ajakan seorang teman di kampus untuk mengikuti Harvard World Model United Nations 2013. Sebuah ajang yang mempertemukan mahasiswa dari berbagai penjuru dunia dalam sebuah forum simulasi sidang PBB. Ajang yang bagi kebanyakan orang merupakan ajang bergengsi. Tetapi, harus saya akui, saya bukan salah satu dari kebanyakan orang yang berpikir demikian. Bagi saya, MUN tidak lebih dari sebuah ajang biasa, bahkan mungkin ekstrimnya saya akan bilang bahwa MUN itu cenderung membosankan. Kendati demikian, agaknya teman saya sukses membujuk saya hingga akhirnya saya mau ikut dan bergabung menjadi delegasi FISIP UI bersamanya.

Keinginan saya untuk pergi mengikuti WMUN ke Melbourne pada gilirannya muncul dan tenggelam. Tetapi kemudian saya berpikir bahwa mencoba hal baru yang belum pernah saya lakukan sebelumnya mungkin akan menjadi tantangan yang seru. Lebih dari itu, menjalani suatu hal dengan setengah-setengah justru tidak akan mendatangkan hasil yang maksimal. Hingga akhirnya, saya putuskan untuk benar-benar menjalani ini dan menerima amanah sebagai head delegate yang dipercayakan delegasi kepada saya. Berjuang bersama dengan empat orang anggota delegasi lainnya, hari-hari saya pun banyak disibukkan dengan kegiatan persiapan keberangkatan ke Melbourne. 

Semua jerih payah kami terbayarkan saat kami tiba di Melbourne. Melbourne adalah sebuah kota kosmopolitan dengan penduduk yang sangat multikultur. Kita dapat menemui berbagai suku bangsa di kota ini. Landscape kota terdiri dari gedung-gedung perkantoran yang tinggi, apartemen, serta jalur tram yang melintas di setiap ruas jalan kota, nyaris tidak ada rumah hunian yang berdiri di kota. Perumahan tersebar di area suburban

Melbourne mengajarkan pada saya pentingnya nilai-nilai toleransi dan kehidupan damai dalam perbedaan, termasuk bagaimana menghormati kebebasan individu, karena masyarakat Melbourne paling tidak suka mengurusi urusan orang lain. Jika boleh saya membandingkannya dengan masyarakat Amerika, masyarakat Australia khususnya Melbourne, mempunyai penghargaan yang lebih tinggi terhadap privasi orang lain.

Selain mendapatkan pengalaman baru dari konferensi WMUN dan pengalaman menjadi narasumber di beberapa media Australia, seperti ABC Radio Australia abcradioaustralia.net.au dan www.sbs.com.au, saya juga belajar banyak dari pengalaman berinteraksi langsung dengan masyarakat Melbourne. Suatu malam, saya dan teman-teman naik sebuah bus yang akan mengantarkan kami dari Hopper’s Crossing Station menuju ke home stay kami di Robert’s Avenue. Singkat cerita, kami berkenalan dengan supir bus tersebut. Oleh karena kami dan supir bus itu sama-sama Muslim dan ternyata supir bus tersebut sudah sering ke Indonesia, dengan baik hati supir bus tersebut menawarkan kepada kami untuk diantarkan ke tempat wisata yang sangat terkenal di Australia.

Saking senangnya mendapat tawaran itu, kami sontak langsung mengiyakan. Seolah lupa dan tidak peduli bahwa kami baru saja mengenal orang tersebut. Keesokan harinya, baru kami sadar bahwa kami sedikit gegabah. Mungkin saja supir bus itu orang jahat yang berniat buruk pada turis asing seperti kami. Terlebih karena supir bus ini merupakan warga Australia yang berasal dari Iran. Negeri yang cukup dapat disejajarkan dengan Saudi Arabia yang rentan dengan isu perdagangan perempuan. Akan tetapi, setelah berpikir lama, akhirnya kami memutuskan untuk pergi pada kahir pekan bersama supir bus tersebut dan tiga orang sepupunya yang lain. 

Hari itu, kami pergi ke The Great Ocean Road , sebuah daerah pesisir pantai di wilayah selatan Victoria State yang dikelilingi tebing-tebing tinggi (cliff), kurang lebih sekitar 3 jam dari Weribee, Melbourne. Pantai yang begitu indah di sepanjang jalan dengan hamparan pasir pantai yang bersih dan karang yang cantik. Setelah itu, kami melakukan off road driving dan fireplace picnic di salah satu hutan di sekitar pantai. Sebuah hutan rindang yang difungsikan sebagai hutan lindung oleh pemerintah Victoria ini, didominasi oleh pohon eucalyptus, tempat dimana koala mencari makan dan tidur sepanjang hari. Lalu, kami juga mengunjungi penangkaran rusa, dimana kami bisa melihat binatang berkantong di habitat aslinya. Sayang, saat itu, hari sudah hampir gelap sehingga kami tidak bisa berlama-lama.

Perjalanan hari itu telah memberikan kesempatan pada kami, Kais (supir bus), Alaa (kakak laki-laki Kais), Haider, dan Mustafa (sepupu Kais) untuk menjadi teman dan keluarga baru. Sekelompok bule Iran yang sebelumnya sempat kami curigai sebagai orang yang hendak berniat jahat, justru adalah kawan baik yang sangat murah hati. Selain mengantarkan kami jalan-jalan, mereka juga menyiapkan hidangan khusus untuk kami. Bahkan, piknik hari itu disiapkan hanya dalam waktu satu malam sepulang kerja. Mereka menyadari bahwa memang tidak seharusnya turis asing seperti kami dengan mudah percaya pada warga Australia. Mereka pun yang sudah seperti ayah kami sendiri menasihati agar lain kali kami tidak melakukan hal yang sama dengan warga Australia yang lain. Warga Australia tertentu bisa jadi adalah orang yang hendak berbuat jahat kepada orang asing. Nasihat tersebut menghilangkan kecemasan kami dan perjalanan berakhir menyenangkan.

Dari pengalaman ini, saya mengambil sebuah pelajaran bahwa orang lain yang sama sekali baru kita kenal pun dapat menjadi teman bahkan keluarga. Selama kita banyak menanamkan kebaikan dan manfaat untuk orang lain, maka suatu saat Tuhan akan memberikan kebaikan pada kita melalui orang lain. Hal serupa juga saya rasakan saat saya dipertemukan dengan Erwin, seorang Indonesia yang telah empat tahun sekolah dan kini telah bekerja sebagai announcer di ABC Radio Melbourne. Saya bertemu dan berkenalan dengan Erwin di sebuah media interview dimana saat itu saya sebagai narasumber. Lalu, kami menjadi teman dan hang out bersama. Hal yang mengejutkan adalah secara tiba-tiba, dia menawarkan pada saya kesempatan untuk intership di ABC (langsung diterima kapanpun saya mau magang). Sebuah kebetulan yang kiranya harus saya syukuri, sebab saya memang sedang mencari peluang magang di luar negeri. Kebaikan Tuhan memang kadang datang melalui orang-orang yang tidak pernah kita duga. 

Ketika teman-teman berkunjung ke negara lain, banyak-banyaklah bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat setempat. Namun, tetaplah berhati-hati karena siapapun bisa menjadi baik dan jahat kepada kita. Yang harus tetap diperhatikan adalah bagaimana kita memilih teman bergaul dan bagaimana kita bisa menempatkan diri dalam pergaulan tersebut. Usahakan untuk  senantiasa bersikap baik kepada siapa saja, sehingga orang juga akan bersikap baik kepada kita.


Melburn vs Melbourne
A very nice and funny wallpainting at the Crown Side

Yarra River Bridge, Melbourne, Australia
A beautiful scenery down by Yarra River Bridge on my way to Business Centre  District Melbourne

SOCHUM Commitee-Harvard WMUN 2013, Melbourne, Australia
Me and Kevin were representing Sri Lanka at SOCHUM Committee

The Delegation of FISIP UI for Harvard WMUN 2013, Melbourne, Australia
FISIP UI's Delegation, from left are Muthie, Dini, Kevin, Me, and Dyah

Off Road Driving in Melbourne, Australia
One of the most amazing day I had in Melbourne was when I did off road driving in the forest

Iranian Dancing
Never thought that I would learn how to do Iranian dance in Australia
Stalactites Greek Restaurant, Downtown Melbourne
A neat Greek reaturant in the downtown Melbourne, having dinner with Erwin and Kevin 

St. Kilda Beach, Melbourne, Australia
St. Kilda Beach Melbourne, nice view and clean sea water

Top Views of The Great Ocen Road, Victoria, Australia
Me and the girls were taking picture by the Great Ocean Road



Diary 2008-2009: Exchanged Student



“Hidup memberikanmu banyak pilihan, 
tetapi ia tidak menunjukkan padamu pilihan mana yang terbaik”

Setidaknya kalimat itulah yang pertama kali saya pahami ketika saya memutuskan untuk berangkat menimba ilmu ke negeri Paman Sam. Kala itu, saya dihadapkan dengan dua pilihan yang cukup sulit. Pilihan pertama adalah mengambil kesempatan untuk menjadi exchanged student ke Amerika Serikat melalui beasiswa AFS/YES, dimana saya akan mendapatkan banyak pengalaman berharga selama sebelas bulan periode program. Akan tetapi, sebagai konsekuensinya, saya harus mengulang tahun ketiga saya di SMA setelah kembali ke tanah air nanti. Sementara pilihan kedua adalah mengorbankan kesempatan emas menjadi exchanged student agar dapat lulus tepat waktu.

Pilihan yang dilematis tersebut membuat saya bingung harus memilih yang mana. Orang tua pada waktu itu hanya menyarankan agar saya mengikuti kata hati. Kata hati yang sebenarnya belum bisa saya pahami. Sampai pada akhirnya Tuhan membukakan petunjuk-Nya dan pilihan pertama lah yang saya ambil. Dari sini saya belajar untuk menentukan pilihan terbaik bagi hidup saya. Dunia dan alam diciptakan oleh Tuhan untuk memberikan manusia pilihan-pilihan, namun ia tidak pernah menunjukkan pilihan mana yang terbaik untuk kita. Kita lah yang mampu membuat pilihan terbaik itu dengan tentu saja disertai izin Tuhan. Untuk itulah, wawasan dan kedewasaan diperlukan.

Atas izin Tuhan, saya menjalani kehidupan sebelas bulan saya di Amerika tanpa halangan yang berarti. Meskipun hal ini bukan berarti kehidupan yang saya jalani mulus tanpa tantangan dan cobaan sama sekali, sebab bagaimanapun kehidupan itu berputar seperti roda bukan? Kadang kita berada di atas, kadang di bawah. Summer 2008 begitu cepat berlalu dan telah berganti summer 2009. Saya sangat menghargai pengalaman saya menjadi seorang exchanged student, melalui mana saya mengenal keluarga dan teman-teman baru, tempat saya belajar berbagai bidang ilmu, dan tempat saya mengalami banyak hal yang memberikan saya pelajaran hidup berharga.

Amerika adalah sebuah dreamland (negara impian) yang mengajarkan saya arti kebebasan dan bagaimana mempertanggungjawabkan kebebasan itu. Kebebasan berpikir, berpendapat, berekspresi, dan berperilaku dengan tetap menghormati hak-hak orang lain dan hukum yang berlaku. Negeri melting pot ini juga mengajarkan saya arti nasionalisme atau cinta tanah air. Nasionalisme yang tidak cukup hanya berupa euphoria sesaat, tetapi tumbuh dari jiwa batin setiap warga negara sepanjang hayatnya. Menghargai bangsa sendiri dan menghormati bangsa lain juga merupakan bagian dari nasionalisme yang sesungguhnya.

Rahasia di Balik IP 4.00: Tips & Tricks for GPA Freaks Part II



“Kenali Potensimu dan Lakukan yang Terbaik dengan Potensi itu”

Sejujurnya, di awal saya masuk kuliah, saya tidak pernah membayangkan untuk meraih IP 4.00. Lantaran, banyak orang bilang kuliah di UI itu susah, lulus saja sudah syukur alhamdulillah. Akan tetapi, di sisi lain rasa sayang saya terhadap papa memberikan energi positif tersendiri bagi saya untuk bertekad bulat memperjuangkan IP 4.00. Hal ini karena papa adalah tipe orang tua yang sangat peduli dengan prestasi anaknya. Kesannya memang seolah-olah memaksa saya untuk berprestasi, tapi justru dengan paksaan di awal itulah, saya jadi punya motivasi yang saya temukan dari dalam diri saya sendiri. IP 4.00 tidak hanya saya persembahkan untuk papa, tetapi juga untuk saya sendiri sebagai buah manis dari sebuah kerja keras yang senantiasa mengingatkan saya untuk tidak mudah menyerah.

Lalu bagaimana saya meraihnya? Pertanyaan yang sering dilontarkan orang-orang di sekeliling saya, namun acap kali sulit saya jawab. Hal ini karena bagaimanapun keberhasilan saya tersebut tidak lepas dari campur tangan Tuhan Yang Maha Kuasa melalui doa orang tua, keluarga, dan para sahabat. Tapi tidak apa-apa, saya akan sedikit berbagi mengenai hal apa yang selama ini saya lakukan sebagai bagian dari kerja keras saya meraih IP 4.00. Barangkali bisa menjadi cerita yang bermanfaat dan membangkitkan semangat teman-teman semua.

Hal yang pertama kali saya tanamkan di kepala adalah bahwa tidak ada nilai lain yang saya inginkan kecuali A. Mengapa hal ini penting? karena seperti yang saya bilang sebelumnya, you will receive what you perceive. Kendati demikian, bukan berarti bahwa nilai lain seperti A-, B+, B, dan B- itu buruk, melainkan hanya nilai yang tidak saya inginkan. Dengan begitu, saya akan senantiasa bekerja keras untuk meraih nilai A, betapapun berat effort yang harus dilakukan. Kedengarannya sangat ambisius dan perfeksionis, tapi selama kita konsekuen untuk memperjuangkannya dan kita yakin kita bisa, ya why not, nothing’s impossible right?

Saya adalah tipe audio learner yang lebih cenderung belajar melalui media suara. Hal inilah yang mendasari mengapa saya tidak suka membaca buku. Jangankan membaca textbook, ebook, maupun slides presentasi dosen yang berisikan materi kuliah, membaca bacaan semacam novel maupun komik pun sama sekali tidak menjadi daya tarik bagi saya. kalaupun terpaksa sekali saya harus membaca buku, saya akan membacanya lantang karena dengan begitu saya bisa mendengar suara saya sendiri dan dari situlah informasinya saya serap.

Memang sedikit gila, katanya mahasiswa, kuliah di UI lagi, tapi jarang membaca. Sampai pernah suatu ketika, saya menemani sahabat saya untuk meminjam buku di perpustakaan kampus. Pada saat saya ingin mencatatkan buku yang hendak saya pinjam, pegawai administrasi mengatakan pada saya untuk mendapatkan nomor registrasi terlebih dahulu di bagian helpdesk lantai satu. Sebenarnya waktu itu saya bingung kenapa saya harus melakukan prosedur iu, sementara sahabat saya tidak.

Sampai di helpdesk lantai satu, ternyata saya tidak perlu melakukan registrasi karena saya adalah mahasiswa UI. Dengan lugunya saya berkata “Loh Pak, tapi pegawai administrasi peminjaman buku menyuruh saya ke sini untuk mendapatkan nomor registrasi?”. Sontak saya kaget mendengar jawaban si Bapak yang membantu saya di helpdesk, karena dia berkata “Itu karena eneng gak pernah pinjam buku ke perpus ya, ketahuan jarang datang ke perpus, jarang membaca buku ya? Kalau eneng sering kemari dan meminjam buku pasti pegawai administartornya sudah hafal”.

Peristiwa itu membuat saya tersipu malu. Tapi saya selalu yakin bahwa setiap kekurangan pasti ada jalan keluarnya,. Saya memang tidak suka membaca. Tetapi saya mempunyai kemampuan lebih dalam menyerap informasi dari penjelasan (lecturing) dosen. Saya mencatatkan kata kunci yang saya dengar dari penjelasan dosen ke dalam catatan. Bagi saya kerapihan catatan tidak menjadi fokus perhatian. Hal ini lagi-lagi karena saya memang bukan orang visual. Selama saya bisa membaca catatan saya sendiri itu sudah lebih dari cukup dan memang sepertinya hanya saya yang bisa membacanya karena hand writing saya sangat jelek.

Catatan dan sumber internet (google) menjadi referensi yang sangat saya andalkan untuk membuat paper atau makalah tugas kuliah, Akan tetapi, bagaimapun saya tetap membaca referensi buku, meskipun seringkali dengan cara skimming. Saya kerap mendapati mahasiswa menyepelekan tugas paper mereka dan hanya mementingkan ujian (UTS dan UAS). Padahal sejauh yang saya rasakan, tugas paper justru adalah yang terpenting dari banyak aspek kuliah yang penting. Mengapa saya berani berargumen seperti itu? Apabila UTS dan UAS dianalogikan sebagai isi buah jeruk, maka tugas paper adalah kulit buah jeruk tersebut.

Kalau teman-teman bingung untuk memahami analogi tersebut, teman-teman dapat bertanya pada diri teman-teman sendiri. Mana yang akan teman-teman ambil untuk dimakan. Jeruk yang kulitnya coklat kusam atau jeruk yang kulitnya oranye terang? Oranye terang bukan? Artinya, tugas paper adalah kesan yang pertama kali ditangkap oleh dosen mengenai mahasiswanya. Dengan kata lain, melalui paper tersebut, dosen menilai kualitas mahasiswa, sebab kualitas paper mencerminkan kualitas mahasiswa. Itulah alasan mengapa saya senantiasa total dalam mengerjakan setiap tugas paper. Ketika mengerjakan paper itulah, saya sekalian belajar mendalami materi kuliah. Dengan demikian, saya tidak harus mengalokasikan waktu tersendiri untuk belajar pada saat mempersiapkan ujian. Paling tinggal review materi sedikit pada saat hari H ujian, sejam-dua jam menjelang ujian dimulai

Oleh karena sudah terbiasa menulis paper dengan baik, maka pada saat ujian kita pun sudah terbiasa berpikir terstruktur dan sistematik, serta mudah mengkombinaskan dan merangkai kata-kata. Dengan demikian, hasil ujian akan maksimal. Sebuah ide sederhana apabila ditulis secara luar biasa akan membuat dosen percaya bahwa kita bisa dan kita memahami materinya dengan baik. Ketika hal ini terjadi, maka dosen pun akan memberikan nilai yang baik pada ujian kita. Apalagi jika paper-paper kita juga excellent. Maka nilai A akan mudah diperoleh.

Being active in the class is also necessary, but absolutely no need to be hyperactive. Jangan pernah menanyakan hal-hal bodoh yang sebenarnya teman-teman tahu jawabannya pada dosen. Apalagi bila motivasi teman-teman dalam bertanya hanya undtuk mengdongkrak nilai keaktifan di kelas. Hal ini justru akan mempermalukan teman-teman sendiri, sebab dosen mengerti benar mana yang asli tidak tahu dan mana yang sekedar ngefake. Bertanyalah seperlunya untuk hal-hal yang benar-benar ingin teman-teman ketahui. Berpendapat dan berkomentarlah saat pendapat atau komentar itu memang seharusnya disampaikan.

Selebihnya adalah menyerahkan segala urusan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sekeras apapun manusia berusaha, tanpa izin Tuhan, juga tidak menjadi apa-apa. Bersyukur, bersabar, disiplin, dan gigih berusaha. Tidak lupa, sempatkan diri untuk bersedekah pada orang lain yang membutuhkan. Sedekah tidak melulu dalam bentuk uang, tetapi juga bisa berupa bantuan tenaga, waktu, dan pikiran. Saya senantiasa percaya pada janji Tuhan: “Barang siapa mempermudah urusan orang lain, maka Tuhan juga akan mempermudah urusannya”. So, teman-teman selamat berjuang meraih IP 4.00 ya..#2

Rahasia di Balik IP 4.00: Tips & Tricks for GPA Freaks Part I

“Besarnya Kemauanmu Meraih Sesuatu Menentukan Besarnya Usahamu untuk Meraihnya”, 

Banyak orang berpikir bahwa IP 4.00 hanya akan menjadi milik mahasiswa study-oriented (SO). Sebaliknya, hanya sedikit orang yang percaya bahwa IP 4.00 dapat dimiliki oleh setiap mahasiswa apapun jenis kehidupan kampus yang dipilihnya, baik SO, aktivis organisasi, aktivis sosial, bahkan yang hobi nongkrong dan senang-senang sekalipun. Gak percaya? Saya buktinya. Saya tidak bermaksud pamer, apalagi sombong, tetapi saya ingin menunjukkan pada teman-teman bahwa siapapun bisa loh mendapat IP 4.00 asal kalian percaya bahwa kalian bisa. You will receive when you perceive.

Kehidupan kampus yang saya pilihpun lebih pada kombinasi berbagai jenis kehidupan kampus. Justru tidak cenderung sama sekali menjadi seorang mahasiswa SO. Bagi saya belajar itu membosankan somehow, jika yang dipelajari hanyalah textbook, e-book, maupun slides materi dosen. Ada pelajaran-pelajaran lain di luar textbook yang jauh lebih menantang dan mampu menghadirkan warna lain bagi kehidupan saya. Pelajaran yang hanya bisa didapat melalui interaksi dan komunikasi dengan banyak orang.

Oleh karena itu, sejak awal duduk di bangku kuliah, saya sudah membiasakan diri aktif berorganisasi dan juga menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan sosial di luar kampus. Tidak cukup sampai disitu, courage dan willingness saya untuk belajar bekerja profesional juga tidak kalah tinggi. Oleh karena itu, saya pun menjajal berbagai part time jobs, baik di dalam maupun di luar kampus. Believe it or not, setahun terakhir ini, saya menjabani tiga rutinitas sekaligus di luar kuliah. Saya magang di kemahasiswaan fakultas (FISIP UI), freelance event organizer di Indonesia Leadership Development Program (ILDP) UI, dan volunteerig di sebuah NGO anak di Jakarta bernama Swayanaka Jakarta.

Sejujurnya, berbagai aktivitas yang saya jalani sehari-hari, mulai dari kuliah, kerja, organisasi, hingga aktivitas sosial sudah cukup menyita waktu saya. Akan tetapi, saya tidak pernah mau kehilangan waktu bersenang-senang dengan teman-teman. Hangout bersama teman adalah salah satu agenda wajib dalam kehidupan saya, mulai dari kumpul dan ngobrol biasa hingga pergi makan di luar, nonton, karaoke, dan trip ke tempat-tempat wisata, dimana kami bisa menikmati suasana fun jauh dari kehidupan kota yang stressful. Dapat dibayangkan bukan? Seperti apa saya harus junggling time setiap hari.

Kendati demikian, passion dan semangat untuk tetap berprestasi tidak pernah luput begitu saja dari perhatian saya. IP 4.00 adalah sebuah pencapaian yang tetap harus diusahakan apapun kondisinya. Banyak sahabat dan kolega bertanya apa yang saya lakukan hingga saya tetap bisa mencapai IP 4.00 di tengah segudang kesibukan yang menyita waktu. Bahkan beberapa di antara mereka menyangka saya tidak pernah tidur karena belajar sepanjang malam, I would say “a big no way” for that, karena memang saya tidak demikian adanya.

Bila teman-teman sama seperti sahabat dan kolega saya yang ingin sekali tahu bagaimana saya mencapai IP sempurna, maka melalui tulisan ini saya ingin membagi sedikit pengalaman saya. Teman-teman boleh mengangap pengalaman saya ini tips dan tricks yang mungkin bisa teman-teman terapkan. Akan tetapi, saya ingin menegaskan bahwa sebenarnya setiap mahasiswa punya cara masing-masing yang unik untuk mencapai sesuatu. Cara itu hanya bisa ditemukan sendiri oleh individu yang bersangkutan. Walaupun demikian, saya harap tips dan tricks dari saya dapat menjadi inspirasi sekaligus motivasi bagi teman-teman dalam menemukan cara teman-teman sendiri untuk mencapai IP 4.00. #1


FISIP Award 2013 Kategori IPK Tertinggi
Bangga dan bersyukur bisa mengenakan slempang IPK Terbaik FISIP UI 2012