“Kenali Potensimu dan Lakukan yang Terbaik dengan Potensi itu”
Sejujurnya, di awal saya masuk kuliah, saya tidak pernah
membayangkan untuk meraih IP 4.00. Lantaran, banyak orang bilang kuliah di UI
itu susah, lulus saja sudah syukur alhamdulillah. Akan tetapi, di sisi lain
rasa sayang saya terhadap papa memberikan energi positif tersendiri bagi saya
untuk bertekad bulat memperjuangkan IP 4.00. Hal ini karena papa adalah tipe
orang tua yang sangat peduli dengan prestasi anaknya. Kesannya memang
seolah-olah memaksa saya untuk berprestasi, tapi justru dengan paksaan di awal
itulah, saya jadi punya motivasi yang saya temukan dari dalam diri saya
sendiri. IP 4.00 tidak hanya saya persembahkan untuk papa, tetapi juga untuk
saya sendiri sebagai buah manis dari sebuah kerja keras yang senantiasa
mengingatkan saya untuk tidak mudah menyerah.
Lalu bagaimana saya meraihnya? Pertanyaan yang sering dilontarkan
orang-orang di sekeliling saya, namun acap kali sulit saya jawab. Hal ini
karena bagaimanapun keberhasilan saya tersebut tidak lepas dari campur tangan
Tuhan Yang Maha Kuasa melalui doa orang tua, keluarga, dan para sahabat. Tapi
tidak apa-apa, saya akan sedikit berbagi mengenai hal apa yang selama ini saya
lakukan sebagai bagian dari kerja keras saya meraih IP 4.00. Barangkali bisa
menjadi cerita yang bermanfaat dan membangkitkan semangat teman-teman semua.
Hal
yang pertama kali saya tanamkan di kepala adalah bahwa tidak ada nilai lain
yang saya inginkan kecuali A. Mengapa hal ini penting? karena seperti yang saya
bilang sebelumnya, you will receive what
you perceive. Kendati demikian, bukan berarti bahwa nilai lain seperti A-,
B+, B, dan B- itu buruk, melainkan hanya nilai yang tidak saya inginkan. Dengan
begitu, saya akan senantiasa bekerja keras untuk meraih nilai A, betapapun
berat effort yang harus dilakukan.
Kedengarannya sangat ambisius dan perfeksionis, tapi selama kita konsekuen
untuk memperjuangkannya dan kita yakin kita bisa, ya why not, nothing’s impossible
right?
Saya
adalah tipe audio learner yang lebih
cenderung belajar melalui media suara. Hal inilah yang mendasari mengapa saya
tidak suka membaca buku. Jangankan membaca textbook,
ebook, maupun slides presentasi
dosen yang berisikan materi kuliah, membaca bacaan semacam novel maupun komik
pun sama sekali tidak menjadi daya tarik bagi saya. kalaupun terpaksa sekali
saya harus membaca buku, saya akan membacanya lantang karena dengan begitu saya
bisa mendengar suara saya sendiri dan dari situlah informasinya saya serap.
Memang
sedikit gila, katanya mahasiswa, kuliah di UI lagi, tapi jarang membaca. Sampai
pernah suatu ketika, saya menemani sahabat saya untuk meminjam buku di perpustakaan
kampus. Pada saat saya ingin mencatatkan buku yang hendak saya pinjam, pegawai
administrasi mengatakan pada saya untuk mendapatkan nomor registrasi terlebih
dahulu di bagian helpdesk lantai
satu. Sebenarnya waktu itu saya bingung kenapa saya harus melakukan prosedur
iu, sementara sahabat saya tidak.
Sampai
di helpdesk lantai satu, ternyata saya
tidak perlu melakukan registrasi karena saya adalah mahasiswa UI. Dengan
lugunya saya berkata “Loh Pak, tapi pegawai administrasi peminjaman buku menyuruh
saya ke sini untuk mendapatkan nomor registrasi?”. Sontak saya kaget mendengar
jawaban si Bapak yang membantu saya di
helpdesk, karena dia berkata “Itu karena eneng gak pernah pinjam buku ke
perpus ya, ketahuan jarang datang ke perpus, jarang membaca buku ya? Kalau eneng
sering kemari dan meminjam buku pasti pegawai administartornya sudah hafal”.
Peristiwa
itu membuat saya tersipu malu. Tapi saya selalu yakin bahwa setiap kekurangan
pasti ada jalan keluarnya,. Saya memang tidak suka membaca. Tetapi saya
mempunyai kemampuan lebih dalam menyerap informasi dari penjelasan (lecturing) dosen. Saya mencatatkan kata
kunci yang saya dengar dari penjelasan dosen ke dalam catatan. Bagi saya
kerapihan catatan tidak menjadi fokus perhatian. Hal ini lagi-lagi karena saya
memang bukan orang visual. Selama saya bisa membaca catatan saya sendiri itu
sudah lebih dari cukup dan memang sepertinya hanya saya yang bisa membacanya karena
hand writing saya sangat jelek.
Catatan
dan sumber internet (google) menjadi
referensi yang sangat saya andalkan untuk membuat paper atau makalah tugas kuliah, Akan tetapi, bagaimapun saya tetap
membaca referensi buku, meskipun seringkali dengan cara skimming. Saya kerap mendapati mahasiswa menyepelekan tugas paper mereka dan hanya mementingkan
ujian (UTS dan UAS). Padahal sejauh yang saya rasakan, tugas paper justru adalah yang terpenting dari
banyak aspek kuliah yang penting. Mengapa saya berani berargumen seperti itu?
Apabila UTS dan UAS dianalogikan sebagai isi buah jeruk, maka tugas paper adalah kulit buah jeruk
tersebut.
Kalau
teman-teman bingung untuk memahami analogi tersebut, teman-teman dapat bertanya
pada diri teman-teman sendiri. Mana yang akan teman-teman ambil untuk dimakan.
Jeruk yang kulitnya coklat kusam atau jeruk yang kulitnya oranye terang? Oranye
terang bukan? Artinya, tugas paper
adalah kesan yang pertama kali ditangkap oleh dosen mengenai mahasiswanya.
Dengan kata lain, melalui paper tersebut,
dosen menilai kualitas mahasiswa, sebab kualitas paper mencerminkan kualitas mahasiswa. Itulah alasan mengapa saya
senantiasa total dalam mengerjakan setiap tugas paper. Ketika mengerjakan paper
itulah, saya sekalian belajar mendalami materi kuliah. Dengan demikian, saya
tidak harus mengalokasikan waktu tersendiri untuk belajar pada saat
mempersiapkan ujian. Paling tinggal review
materi sedikit pada saat hari H ujian, sejam-dua jam menjelang ujian dimulai
Oleh
karena sudah terbiasa menulis paper
dengan baik, maka pada saat ujian kita pun sudah terbiasa berpikir terstruktur
dan sistematik, serta mudah mengkombinaskan dan merangkai kata-kata. Dengan
demikian, hasil ujian akan maksimal. Sebuah ide sederhana apabila ditulis
secara luar biasa akan membuat dosen percaya bahwa kita bisa dan kita memahami
materinya dengan baik. Ketika hal ini terjadi, maka dosen pun akan memberikan
nilai yang baik pada ujian kita. Apalagi jika paper-paper kita juga excellent.
Maka nilai A akan mudah diperoleh.
Being active in the class is also necessary,
but absolutely no need to be hyperactive. Jangan pernah menanyakan hal-hal
bodoh yang sebenarnya teman-teman tahu jawabannya pada dosen. Apalagi bila
motivasi teman-teman dalam bertanya hanya undtuk mengdongkrak nilai keaktifan
di kelas. Hal ini justru akan mempermalukan teman-teman sendiri, sebab dosen
mengerti benar mana yang asli tidak tahu dan mana yang sekedar ngefake. Bertanyalah seperlunya untuk
hal-hal yang benar-benar ingin teman-teman ketahui. Berpendapat dan berkomentarlah
saat pendapat atau komentar itu memang seharusnya disampaikan.
Selebihnya
adalah menyerahkan segala urusan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sekeras apapun
manusia berusaha, tanpa izin Tuhan, juga tidak menjadi apa-apa. Bersyukur,
bersabar, disiplin, dan gigih berusaha. Tidak lupa, sempatkan diri untuk
bersedekah pada orang lain yang membutuhkan. Sedekah tidak melulu dalam bentuk
uang, tetapi juga bisa berupa bantuan tenaga, waktu, dan pikiran. Saya
senantiasa percaya pada janji Tuhan: “Barang siapa mempermudah urusan orang
lain, maka Tuhan juga akan mempermudah urusannya”. So, teman-teman selamat berjuang meraih IP 4.00 ya..#2
Good job n congratulation.....
ReplyDeleteJngn mudah puas atas apa yg sudah kita capai....
Trus trus dan trus berusaha.....
Good luck...
thank you..:)
ReplyDeletekepuasan adalah bagian dari cara kita menghargai kerja keras kita.
tapi jangan sampai kepuasan itu membuat kita berhenti untuk berusaha menjadi lebih baik dan lebih baik lagi..:)